udahan kan ya nad? HAH? udahan kan? udah apanya? ngablunya nadiaaaaahhh-_- OH iya udah sekian dulu deh ngablu di malam ini semoga bermanfaat! \m/
BYE~
You were born creative and you are creative. And you can be creative anytime you want.
Clock
Senin, 25 Juni 2012
Mandalawangi
Mandalawangi,
Letih dan lelah membalut sekujur tubuh
Setelah berjalan mendaki untuk dapat berjumpa denganmu
Mandalawangi,
Keramahanmu menghilangkan segala penat yang kubawa
Dinginmu dapat mencairkan kebekuan di hatiku
Heningmu dapat menyemarakkan kesunyian di jiwaku
Mandalawangi
Di antara rumput-rumput yang tumbuh di lembahmu
Di antara keabadian tumbuhnya Edelweis di dirimu
Di antara titik-titik embun pagi yang menyapamu
Di antara balutan halimun dalam tidurmu
Di antara sinar mentari pagi yang membangunkanmu
Kau selalu menyambut ramah kami yang berkunjung
Mandalawangi,
Dalam kebekuan dan kesunyian dirimu
Kau selalu memberikan kedamaian dalam hatiku
Karena kau berikan cinta tanpa ada dusta
Hingga kumenyadari akan kecilnya diriku dihadapan Tuhan
Letih dan lelah membalut sekujur tubuh
Setelah berjalan mendaki untuk dapat berjumpa denganmu
Mandalawangi,
Keramahanmu menghilangkan segala penat yang kubawa
Dinginmu dapat mencairkan kebekuan di hatiku
Heningmu dapat menyemarakkan kesunyian di jiwaku
Mandalawangi
Di antara rumput-rumput yang tumbuh di lembahmu
Di antara keabadian tumbuhnya Edelweis di dirimu
Di antara titik-titik embun pagi yang menyapamu
Di antara balutan halimun dalam tidurmu
Di antara sinar mentari pagi yang membangunkanmu
Kau selalu menyambut ramah kami yang berkunjung
Mandalawangi,
Dalam kebekuan dan kesunyian dirimu
Kau selalu memberikan kedamaian dalam hatiku
Karena kau berikan cinta tanpa ada dusta
Hingga kumenyadari akan kecilnya diriku dihadapan Tuhan
Pendakian Gunung Pangrango part. 3
Minggu, 17 Juni 2012
Keesokan harinya, kami disambut oleh kicauan burung dan pancaran sang mentari yang
menghangatkan tubuh kami. Tak lama setelah kami bangun,
kami langsung keluar tenda untuk melihat matahari terbit ditemani pemandangan
alam di puncak Pangrango. Indah sekali memang. Sementara itu, beberapa teman
ada yang memasak untuk sarapan. Menu sarapan kami pagi itu adalah spaghetti
dengan saus sarden dan kornet diatasnya. Hhmm yummy!! Ada juga yang berfoto
dengan pendaki lain. Sarapan telah siap. Kami langsung merapat ke tenda untuk
menikmati sarapan kami kali ini.
Setelah sarapan, kami langsung menuju lembah Mandalawangi.
Letaknya sekitar 10 menit dari puncak Pangrango. Sebuah pemandangan berisi pohon-pohon edelweis yang bergerombol,
di padang rumput, berlatar bukit. Kabut tipis, suhu yang membuat kami tak
banyak bicara, pucuk-pucuk edelweis yang bicara tentang keabadian, dan akhirnya
kami hanya akan mendengar angin yang membelai lembut keheningan sekitar. Edelweis
yang seakan bicara dengan tanah dalam bahasa yang kami tidak mengerti. Ia tidak
tumbuh tinggi, tapi mampu mengajak manusia memuji Tuhan di lembah Mandalawangi,
dan menyentuh awan di puncak Gunung Pangrango. Lagi-lagi keindahannya
tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kamipun menyempatkan diri untuk
berfoto.
Matahari telah tinggi di ufuk timur.
Setelah puas “menjelajahi” lembah Mandalawangi, kami kembali ke camp di puncak.
Kami speechless. Kami duduk sebentar, menikmati kabut, pohon
cantigi, dan gerombolan edelweis. Kami mendekat ke bibir jurang untuk melihat
mereka. Cantigi, yang hanya tumbuh di
puncak-puncak gunung, dan satu lagi yang kami nanti nantikan yaitu, edelweis. Setelah
itu kami diajak turun sedikit. Kami mencoba semacam buah berry. Yang ternyata
kami ketahui buah itu bernama arbey. Rasanya memang seperti buah berry pada
umumnya. Tapi buah ini menyajikan sensasi tersendiri karena arbey hanya hidup
di gunung. Dan biasanya disebut makanan gunung. Lumayan lah untuk cemilan kami
di pagi hari.
Setelah puas menikmati pemandangan di
puncak Pangrango, kamipun bergegas untuk membereskan tenda dan packing. Sekitar
pukul 08.00, kami memutuskan untuk segera turun gunung. Perjalanan
turun melelahkan, amat melelahkan. Dengkul kami juga kena. Kaki sudah letih. Kami
lanjut turun dan akhirnya sampai juga di kandang badak sekitar pukul 11.30.
Dan kami memutuskan untuk beristirahat. Berhenti untuk sekedar mengganjal perut
dan memasak air minum untuk perbekalan kami hingga kaki gunung.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan
sampai pada akhirnya kami mampir di air terjun cibeureum. Kami bergegas
menyusuri jalan menuju air terjun tersebut. Tapi, kakak pembina kami, Amel, dan
Nadiah lebih memilih tinggal di shelter sembari menjaga tas kami. Setelah puas
bermain-main di air terjun, kami melanjutkan perjalanan kami menuju pos. Di tengah
perjalanan, kami mampir ke telaga biru untuk sekedar packing ulang dan
berfoto-foto.
Langit mulai gelap dan pastinya hari mulai
malam. Kamipun melanjutkan perjalanan. Mendengar obrolan pendaki lain bahwa pos
pertama hanya sekitar 16 hm lagi, semangat kamipun membara. Dengan tenaga yang
tersisa, kami terus menuruni kaki gunung. Tepat pukul 18.00 kamipun sampai di
pos pertama. Sambil menunggu beberapa teman & kakak pembina, kamipun
beristirahat. Setelah semuanya telah sampai di tempat, kami langsung
menyerahkan form mengenai barang pribadi dan list barang yang kemungkinan
menghasilkan sampah & barang yang mengandung bahan kimia.
Sesudah itu kamipun segera menuju masjid
yang ada di lingkungan gedung information centre. Disana kami shalat dan
menyempatkan diri untuk beristirahat. Ada yang ganti pakaian, ada yang
pijet-pijetan, ada yang jalan-jalan, ada yang... hhmm banyak deh pokoknya. Oiya,
ada kejadian yang bikin kami panik. Ternyata handycam Pandini hilang, kami
tidak tahu bagaimana alur kejadiannya. Tapi saat itu juga Pandini, ditemani
Ummay dan Ghiffari segera mencari handycam tersebut. Sementara yang lain lebih
memilih tinggal di masjid. Beberapa menit kemudian, mereka datang dengan
membawa handycam yang diduga hilang sebelumnya. Ternyata, handycam tersebut
tertinggal di dekat pos yang kita tempati untuk istirahat sebelumnya.
Sekitar pukul 19.30 kamipun segera
meninggalkan TNGGP. Setelah itu, kami mampir ke warung makan untuk mengisi
perut kami. Lalu kami lanjut pulang dengan menaiki angkot kuning sampai tempat
pemberhentian bis. Turun dari angkot, kamipun segera menunggu bis. Cukup lama
kami menunggu, akhirnya ada juga bis yang lewat. Hari sudah malam, beruntung
kami dapat tempat duduk. Di dalam bis, kami tertidur pulas sampai-sampai tidak
sadar kalau kami sudah berada di terminal kampung rambutan.
Kami masih tidak percaya, dua malam kami
menginap di Pangrango. Kami kembali teringat suara angin mendesir, hanya nafas
yang menunjukkan bahwa kami ada di sana.
-THE END-
Mendaki Gunung
Meniti seutas tali sebrangi jurang dalam
Lintasi sungai deras
Ikuti arus lewati jeram2 diantara batu
Merayap dan bergantungan dibukit cadas terjal
Sampaikan salam pada alam
Diam terpaku diatas batu besar
Memandang jauh dibatas langit dan bumi
Biarkan aliran udara sejuk dinginkan jiwa
Menanti mentari terbit diufuk
Bersujud diatas awan dipuncak tanah tertinggi
Duduk bersimpuh serasa melayang
Hamparan Edelweis abadi
Tatapan teduh
Tanpa kata-kata
Melangkah pulang dengan baterai jiwa terisi penuh
Tersenyum..
Pendakian Gunung Pangrango part. 2
Sabtu, 16 Juni 2012
Keesokan harinya, kami disambut oleh
kicauan burung dan pancaran sang mentari yang menghangatkan tubuh kami.
Tak lama setelah kami bangun, kami berniat untuk melanjutkan perjalanan.
Kami sempat mengadakan super trap dadakan dengan target utama para
pendaki yang melintasi tempat ngecamp kami.
Udara gunung di pagi hari lumayan menusuk. Namun sempat beberapa
saat cekikan dingin Pangrango lenyap seketika oleh panasnya air sungai yang kami
lewati. Suhunya hampir 80 derajat. Sumber air
panas sedikit berbahaya. licin, dan panas. Berpegangan pada kabel-kabel adalah
pilihan satu-satunya. Setelah melewati aliran air panas diatas batu-batu licin
itu, kami beristirahat. Disana
kami berhenti sejenak untuk menikmati nasi uduk yang dijajakan oleh penduduk
sekitar. Ketika makan nasi uduk teman kami berinisial APA digombali oleh orang
aneh pendaki juga untung saja ada superhero datang yang berinisial MWSU untuk
menyelamatkan APA. (Wow so sweet yah!) Tak terlalu jauh
dari air panas terdapat tempat camp yang disebut Kandang Batu. Terlihat puncak Pangrango memanggil-manggil di balik kabut tipis.
Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju kandang badak.
Lega rasanya siang itu kami tiba di Kandang Badak. Setelah sampai di kandang badak,
kami beristirahat sejenak untuk menikmati snack yang kami bawa juga mengisi
botol-botol kosong dengan air bersih. Tak lama kemudian, kami langsung
melanjutkan perjalanan. Jalur setelah itu bertambah sulit untuk rintangan kepala, namun
untuk jalur kaki lumayan menyenangkan. Tidak ada jalur batu lagi. Namun kami
harus banyak memanjat lagi. Di pertengahan jalan, kami istirahat sejenak untuk makan siang dan
menunaikan shalat zuhur. Beberapa teman serta kakak pembina
kami langsung memasak sesuai menu yang telah ditentukan, yaitu dengan tumis labusiem dan teri
kacang. Tadinya mau makan tahu tetapi sepertinya tahunya dimakan musang saat
ngecamp pertama. Hhft.. setelah makan siang, kamipun melanjutkan perjalanan
menuju puncak Pangrango. (y)
Jalan menuju puncak Pangrango semakin ke
atas semakin terjal. Hutan Pangrango memang lebat dan agak
gelap. Banyak pohon tumbang melintang yang harus kami lalui. Jalurnya pun
lumayan menguras tenaga. Menanjak dan sesekali harus sedikit memanjat akar-akaran. Ada yang kakinya slip
di batu dan ada juga yang anklenya sakit. Membengkak sedikit, dan membuat
perjalanan sedikit lebih lama. Jalurnya sangat menantang, pohon disana-sini,
menghalangi jalan, tak jarang kami harus berjongkok, membungkuk, melompat
pelan, dan memanjatnya. Cukup menguras tenaga memang. Tapi
puncak Pangrango dan lembah Mandalawangi yang menjadi impian kami seolah
berteriak, “Take a rest if you must but never quit!”. Di
sini hutannya memang terjaga. Rindang dan nyaman. Itu kesan kami. Pelajaran
berharga dalam mengatur ritme berjalan kami dapat dari Kak Endri. Berjalan di
belakangnya dan mengikuti langkahnya membuat kami dengan sendirinya mengatur
ritme berjalan, nafas, dan istirahat. Terima kasih, Kak… ^_^
Setelah melewati perjalanan yang cukup
berat, sekitar pukul 18.00 tibalah kami di puncak Pangrango. Tidak disangka
kami berada di ketinggian 3019 mdpl. Perjuangan ke puncak Pangrango
menakjubkan. Dari puncak Pangrango kami dapat melihat kawah Gede dan gigiran
kawah jalur menuju puncaknya. Sungguh indah! Cakrawala ufuk barat berselimutkan
awan dan bertabur warna senja. Indah! Tak bisa kami lukiskan kebahagiaan yang
menyusup di hati kami ketika melihat tugu puncak Pangrango. Dalam beberapa
pendakian, inilah pendakian pertama kami dimana kami berhasil menginjakkan kaki
di puncak gunung. Puncak Pangrango tidak seperti puncak gunung kebanyakan yang
memiliki medan datar beberapa meter saja.
Di puncak Pangrango ini kita bahkan bisa
membuat camp tanpa khawatir diserang angin kencang sebab banyak pohon tumbuh. Tak
berapa lama kemudian teman yang lain pun sampai di puncak. Ya, kami terpecah
menjadi dua tim dalam perjalanan menuju puncak. Setelah semua teman sampai,
kami segera membangun tenda karena banyak yang sudah tidak kuat menahan dingin.
Sementara beberapa teman mendirikan tenda, kami menikmati keindahan alam di
puncak Pangrango ini. Kami speechless. Kami duduk sebentar,
menikmati kabut, pohon cantigi, dan gerombolan edelweis. Sembari melihat
matahari terbenam. Tapi sayang sekali, kami hanya bisa melihat bayangannya
dikarenakan tertutup awan & gunung Gede.
Setelah tendanya jadi, kamipun segera
masuk ke dalam tenda karena udara benar-benar dingin. Lalu, kami segera
menyalakan kompor di dalam tenda agar suhu di dalam tenda menjadi hangat.
Setelah itu, kami memasak coklat hangat dan rawon untuk mengisi perut yang
sejak sore sudah keroncongan. Dan akhirnya kami makan & minum segelas
coklat hangat sambil melepas senja. Kami berencana keluar dari tenda setelah
makan untuk melihat taburan bintang, dan sinar rembulan di malam yang
sunyi itu. Tapi sayang sekali lagi lagi kami belum beruntung. Karena cuaca di
malam itu mendung. Kami sedikit menyesal, tapi mungkin belum saatnya kami bisa
melihat taburan bintang dan sinar rembulan di malam itu. Mungkin lain kali.
Semoga saja. Lelah
telah menggelayuti tubuh kami. Sekitar pukul 21.00, kami segera tidur ditemani
suara angin yang meniup pohon-pohon (suaranya seperti mobil yang sedang melaju
kencang) dan dinginnya puncak Pangrango di malam hari.
to be continued....
to be continued....
Puisi Pendaki Cilik
Kerinduan nyanyian alam
Membawa angan melayang
Susuri tapak-tapak kaki silam
Tertutup semak berduri dan berdebu
Yang sekian lama menyesak kalbu
Menguji kekuatan sanubari kehidupan demi kehidupan
Menuju puncak kehormatan meski tanpa bentuk
Seperti terlukis dalam benak
Semakin lama langkah tak terkendali, terseok-seok
Jatuh bangun, kadang keluar jalur setapak
Aku tersentak, bingung, kagum, penat, …
Entah apalagi
Terdiam berdiri kutoleh ke segala penjuru arah
Oh… ternyata harus jengah sejenak mengusap keringat
Dingin berselimut kabut terasa menusuk belulang
Terduduk lamunan membawa bimbang
Pada seluruh perseteruan rasa, asa, dan maut…
Namun, gejolak itu cepat mereda terbuai
Rona alam yang tak asing dalam ingatan
Keabadian edelweis mengejek sisa-sisa semangat
Aku marah …
Aku berontak menggandeng segenap rasa
Yang bersemayam dalam diri mencoba jejakkan langkah
Pada episode selanjutnya
Akhirnya, …
Perjalanan hidup mati ini pun sampai pada puncaknya
Sembah sujud mencium tanah kebebasan
Sembari histeris mengagungkan nama Ilahi
Dan …
Terdiam kurenung menyadari
Begitu banyak puncak yang belum terdaki,
Ternyata masih belum waktunya
Melepas tawa-tawa bahagia
Membawa angan melayang
Susuri tapak-tapak kaki silam
Tertutup semak berduri dan berdebu
Yang sekian lama menyesak kalbu
Menguji kekuatan sanubari kehidupan demi kehidupan
Menuju puncak kehormatan meski tanpa bentuk
Seperti terlukis dalam benak
Semakin lama langkah tak terkendali, terseok-seok
Jatuh bangun, kadang keluar jalur setapak
Aku tersentak, bingung, kagum, penat, …
Entah apalagi
Terdiam berdiri kutoleh ke segala penjuru arah
Oh… ternyata harus jengah sejenak mengusap keringat
Dingin berselimut kabut terasa menusuk belulang
Terduduk lamunan membawa bimbang
Pada seluruh perseteruan rasa, asa, dan maut…
Namun, gejolak itu cepat mereda terbuai
Rona alam yang tak asing dalam ingatan
Keabadian edelweis mengejek sisa-sisa semangat
Aku marah …
Aku berontak menggandeng segenap rasa
Yang bersemayam dalam diri mencoba jejakkan langkah
Pada episode selanjutnya
Akhirnya, …
Perjalanan hidup mati ini pun sampai pada puncaknya
Sembah sujud mencium tanah kebebasan
Sembari histeris mengagungkan nama Ilahi
Dan …
Terdiam kurenung menyadari
Begitu banyak puncak yang belum terdaki,
Ternyata masih belum waktunya
Melepas tawa-tawa bahagia
Pendakian Gunung Pangrango part. 1
Created by:
Pandini Putri Anggraeni, Amalia
Pradipta Arsyad, Ummaymatul Anin, Nadiah Agustin, M. Rizqi Ghiffari, Rizaldi
Dwi Septianto, dan
M. Wildan Satrio Utomo
Jumat, 15 Juni 2012
Pagi
itu, sekitar pukul 09.00 Pandini Putri Anggraeni, Amalia Pradipta Arsyad,
Ummaymatul Anin, Nadiah Agustin, M. Rizqi Ghiffari, Rizaldi Dwi Septianto, M.
Wildan Satrio Utomo, dan Nurul Gamal, serta kakak pembina kami Endri Siswanto berencana
mendaki gunung. Mereka sibuk mempacking berbagai macam barang ke dalam tas carrier mereka yang rata-rata tingginya hampir
satu meter. Kali ini kami akan melakukan pendakian di Gunung
Pangrango yang terletak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur,
Cibodas, Jawa Barat. Wow! Lumayan jauh ya.
Awalnya
kami harus melakukan administrasi untuk pendaftaran. Karena zaman udah modern
dan teknologinya lebih canggih, jadi kami tidak perlu datang langsung ke tempat
pendaftaran tapi hanya perlu online yang sebenarnya lebih rumit. Kami melakukan
itu sendiri tanpa campur tangan kakak pembina. Dari mulai pendaftaran, kami
menyiapkan surat izin disertai fotokopi KTP orangtua dan juga melakukan pentransferan
uang ke rekening Bank BNI Cabang Cipanas atas nama Balai Besar TNGGP (pnbp).
Hingga hari keberangkatan, kami
berkumpul di depan salah satu supermarket di dekat sekolah kami. Kami
berangkat menaiki angkutan umum 61 sampai Cilandak lalu kami menaiki
koantas bima jurusan terminal kampung rambutan. Sesampainya
di Kampung Rambutan, kami langsung naik bis biasa menuju Cibodas. Suasana dalam
bis sangat sumpek, panas, dan bising. Tapi suasana itu menjadi daya tarik
tersendiri bagi kami. Tak henti-hentinya kami senyum-senyum sendiri
mendengarkan teriakan para pedagang asongan yang lalu lalang menjajakan
dagangan mereka. “Air air air mijon mijon yang haus, pokari dingin pokarimas
(emang ada ya pokarimas?).” Seorang bapak-bapak gendut dan botak berteriak
dengan kolokasi yang ngawur seraya mengangkat box berisi berbagai macam
minuman. Dari arah yang berlawanan seorang ibu dengan tas pinggang lusuh tak
mau kalah lantang mempromosikan barangnya. Ada juga pengamen yang meminta
imbalan secara paksa kepada penumpang. Sialnya, yang paling dipaksa itu kami
sampai-sampai kami terdiam tanpa kata karena takut dengan pengamen tersebut. Beruntung
pengamen tersebut langsung turun dari bis yang kami naiki. Tak
terasa telah berjam-jam kami duduk di dalam gerbong tua itu. Perut pun sudah
mulai minta isi.
Empat jam kemudian...
Kami sampai di pemberhentian bis dan
langsung menyarter sebuah angkot kuning menuju gedung information centre yang
ada di kaki gunung. Waktu yang kami tempuh hanya 15 menit saja. Turun dari
angkot, kami di sambut oleh dinginnya udara pegunungan Cibodas. Tapi itu tak
menyurutkan semangat kami untuk mendaki Pangrango yang sudah di depan mata.
Sesampainya di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (TNGGP), kami langsung menuju ke gedung information centre untuk
administrasi ulang, walaupun sedikit mengalami permasalahan yang menghabiskan
waktu kami, akhirnya pengurusan administrasi selesai juga. Di
dekat pintu masuk terdapat posko yang mengurusi perizinan. Semua pengunjung
diwajibkan melapor terlebih dahulu sebelum maupun sesudah pendakian. Bahkan
peraturan disini juga mewajibkan pengunjung mengisi form mengenai barang
pribadi dan list barang yang kemungkinan menghasilkan sampah & barang yang
mengandung bahan kimia.
Setelah mengurus persyaratan di
atas, kami mengawali trip ini dengan doa bersama. Sebuah permohonan
kepada Allah untuk keselamatan, kegembiraan, dan kemudahan kami dalam mendaki
gunung ini. Sekitar pukul 16.00, kami memulai pendakian dengan menapaki satu
demi satu anak tangga yang disusun dari batu-batu. Pohon-pohon yang kokoh dan
rindang begitu rapat menghalangi sinar matahari yang sore itu cukup terik. Terus berjalan, terus
berjalan. Kami kerap kelelahan. Setelah berjalan
sekitar 1,5 km, tibalah kami di telaga biru. Telaga biru merupakan danau kecil
berukuran lima hektar. Di papan keterangan yang ada di dekat aliran air
diterangkan bahwa telaga biru yang warnanya bisa berubah-ubah tersebut kaya
akan nutrisi dan mineral yang berasal dari pertumbuhan organis dan batuan serta
tanah vulkanis yang terlarutkan. Dan kami memutuskan untuk break disini.
Tak lama kemudian kami meneruskan
perjalanan. Jalannya masih berupa anak tangga seperti yang ada sejak di pintu
masuk. Tapi kemudian kami harus melewati jembatan yang kondisinya agak
memprihatinkan sehingga kami harus ekstra hati-hati agar tidak terperosok.
Sekitar pukul 18.30, kami tiba di shelter dan langsung mengambil air
wudhu di aliran sungai untuk melaksanakan shalat maghrib. Di shelter terdapat penunjuk
arah yang berbentuk tanda panah yang di lengkapi keterangan: Air Panas 2,8 Km,
Puncak Gede 8,5 Km, Puncak Pangrango 10,5 Km. Dari shelter tempat kami
beristirahat sangat jelas terdengar suara gemericik air terjun cibeureum yang
tingginya kurang lebih 50 meter. Namun sayang karena sampai disana sudah malam,
akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi air terjun yang letaknya tak searah
dengan jalan menuju puncak tersebut ketika pulang saja. Selesai
shalat, kami memasak ubi bakar cilembu dan membuat coklat hangat.
Tanpa berlama-lama, setelah mengganjal perut secukupnya, kami pun
melanjutkan perjalanan dengan ritme yang mulai menurun. Udara gunung di malam
hari yang lumayan menusuk semakin memperlambat langkah kami. Hari pun mulai larut
malam dan kami memutuskan untuk ngecamp di pelataran yang cukup luas dan
mendirikan sebuah tenda. Setelah tenda berdiri, beberapa teman dan kakak
pembina kami langsung memasak sesuai menu yang telah ditentukan. Makan malam
pun telah siap. Tanpa menunggu lagi langsung saja kami sikat jatah kami
masing-masing. Tapi beberapa teman lebih memilih untuk tidur saja. Terutama si anak pacet ( kak gamal ) tertidur yang
membuat gaduh seisi tenda. Mungkin karena udara yang sangat
dingin & lelah, dia jadi malas. Setelah makan malam selesai, kami pun tidur
dengan nyenyaknya.
to be continued....
Assalamu'alaikum :D
atuk ooo atuk yeye lalala yeyeye lalala~ bingung nih mau ngepost apa maaf ya jadi gajelas gini deh. curhat dikit ah. gue bete hari ini banyak yang marah-marah sama gue tanpa alasan yang jelas. super duper bete dah pokoknya. puncaknya malem ini nih ada satu cowo yang marah-marah ke gue tiba-tiba gitu lagi-___- pengen gue buang ke laut beneran deh (itupun kalo bisa) udah emosi banget gue sampe gue katain apaan tuh anak segala pake suruh minta maaf ke ibunya lah -_- auamat lah. eh taunya tuh bocah cuma ngerjain gue. gue jadi merasa terbodohi sama semua smsnya tuh bocah-_- sampe sampe gue gaberani manggil dia dengan nama itu lagi. hhft untung aja gue ga ngomong macem macem yak.
oiya gue mau ngepost tentang hiking gunung pangrango nih tapi kapan ya? jadi tuh ceritanya gue, ummay, pandini, amel, wildan, ghiffari, rizaldi (gaberani manggil ciplong ntar dimarahin lagi), kak gamal, dan kak endri berencana mau mendaki gunung gitu tapi tujuan kita untuk rekreasi bukan menaklukan hehehe. ehiya asal-kalian-tau-aja mereka semua itu anggota pramuka aktif. terus gue?
yak gue bukan anggota pramuka aktif, bisa dibilang gue jb jb aja. ya begitulah. untungnya mereka baik baik ya jadi gampang beradaptasinya deh. hehe :D
eh gue lagi buat cerita tentang hiking kemaren nih. ngerjainnya sambil ngablu dikit lah tapi yang penting jadi wkwk udah dulu ya!
Wassalamualaikum :D
atuk ooo atuk yeye lalala yeyeye lalala~ bingung nih mau ngepost apa maaf ya jadi gajelas gini deh. curhat dikit ah. gue bete hari ini banyak yang marah-marah sama gue tanpa alasan yang jelas. super duper bete dah pokoknya. puncaknya malem ini nih ada satu cowo yang marah-marah ke gue tiba-tiba gitu lagi-___- pengen gue buang ke laut beneran deh (itupun kalo bisa) udah emosi banget gue sampe gue katain apaan tuh anak segala pake suruh minta maaf ke ibunya lah -_- auamat lah. eh taunya tuh bocah cuma ngerjain gue. gue jadi merasa terbodohi sama semua smsnya tuh bocah-_- sampe sampe gue gaberani manggil dia dengan nama itu lagi. hhft untung aja gue ga ngomong macem macem yak.
oiya gue mau ngepost tentang hiking gunung pangrango nih tapi kapan ya? jadi tuh ceritanya gue, ummay, pandini, amel, wildan, ghiffari, rizaldi (gaberani manggil ciplong ntar dimarahin lagi), kak gamal, dan kak endri berencana mau mendaki gunung gitu tapi tujuan kita untuk rekreasi bukan menaklukan hehehe. ehiya asal-kalian-tau-aja mereka semua itu anggota pramuka aktif. terus gue?
yak gue bukan anggota pramuka aktif, bisa dibilang gue jb jb aja. ya begitulah. untungnya mereka baik baik ya jadi gampang beradaptasinya deh. hehe :D
eh gue lagi buat cerita tentang hiking kemaren nih. ngerjainnya sambil ngablu dikit lah tapi yang penting jadi wkwk udah dulu ya!
Wassalamualaikum :D
Kamis, 07 Juni 2012
I'll Move On
–ooOoo–
Dua
bulan… Tepat sudah dua bulan ini aku
hidup dalam bayang-bayangnya. Awan mendung juga selalu setia menemaniku selama dua bulan ini. Selama dua bulan, aku hidup
dalam kesepian yang berkepanjangan. Dan selama dua bulan ini juga aku terjebak
dalam kenangan masa lalu tanpa bisa move on.
Aku terjebak dalam setiap jengkal
kenangan yang ia ukir. Aku meruntuki diriku sendiri. Berubah. Memulai langkah
baru tidak semudah aku melangkahkan kaki. Langkah kaki hampa yang tiba-tiba saja
membawaku ke sebuah toko. Denting piano mengalun pelan. Dan celakanya itu
justru menghadirkan sesosok bayangan. Bayangan ketika ia memainkan sebuah lagu untukku, tepat
di hari terakhir ia memutuskan hubungan kami.
Sial! Kenapa harus lagu itu? Dari sekian banyak lagu yang
ada di dunia ini, kenapa harus lagu itu yang sekarang mengalun dari toko musik
ini?
Dengan segudang rasa kesal yang
bergemuruh dihatiku, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam toko musik itu. Bunyi
lonceng yang tergantung di depan pintu masuk sama sekali tidak menganggu sosok pria yang
tengah asik memainkan lagu. Lagu yang membuatku kembali mengingatnya. Tunggu
sebentar, kembali mengingatnya? Oh, sebenarnya aku sama sekali belum dan tidak
bisa melupakannya.
Aku
berdiri mematung di depan grand piano putih. Rasa kesal yang sejak
tadi bergemuruh mendadak melunak. Ada perasaan lain yang menyusup hadir.
Denting terakhir terdengar dan pria itu menegakkan wajahnya, menatapku. Aku
tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dia tersenyum. Aku masih terdiam.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya
bantu?”
Suara lembutnya terdengar seperti
lonceng yang tadi tergantung di pintu. Aku tersihir. Ia tersenyum lagi ketika
melihatku yang masih belum mengatakan apapun. Jantungku berdetak cepat. Ada apa
ini?
Dulu selama tujuh bulan aku selalu
menatap langit, tapi sepertinya bintang-bintang di langit enggan menunjukkan
sinarnya padaku. Aku sudah mencari, tapi
aku sama sekali tidak mendapatkan pertanda. Aku tahu, di luar sana pasti ada
sesuatu yang bisa mengisi jiwaku lagi. Apakah pria ini?
“Agassi? Ada yang
bisa saya bantu?” pria itu kembali bertanya padaku yang sejak tadi hanya
mematung di hadapannya.
“Kenapa kau memainkan lagu itu?”
pertanyaan paling bodoh meluncur begitu saja dari mulutku. Bisa kulihat kening
pria itu berkerut tapi tak lama dia lalu tersenyum. Senyum yang begitu
menyejukkan.
“Setiap
lagu memiliki makna yang tersembunyi di dalamnya. Agassi tahu?
Walaupun lagu ini terdengar seperti lagu patah hati tapi ada pesan setiap
baitnya. It was only a paper cut.
Setiap rasa sakit hati tidak seperih itu selamanya. Ada banyak hal lain, ada
jalan panjang yang terbentang dan kita
harus bertahan,” jelasnya panjang lebar.
Aku tersentil itulah mengapa aku
membenci lagu ini. Aku tidak pernah baik-baik saja sejak ia pergi. Dadaku
sesak. Aku tahu sebentar lagi akan ada air mata yang siap tumpah. Aku tidak
ingin pria di depanku menganggapku aneh. Dan aku berlari keluar dari toko itu,
tanpa sepatah kata.
-ooOoo-
Aku
melangkahkan kakiku menuju sebuah coffee shop,
sepertinya aku membutuhkan minuman yang mengandung zat endofrin agar bisa
sedikit memperbaiki perasaanku yang berantakan karena pria yang ada di toko
musik tadi.
Segelas Frozen Chocolate dan pancake coklat menjadi pilihanku. Seperti yang
sudah aku katakan tadi, aku sangat membutuhkan suplai coklat.
Aku
memilih duduk di sebuah kursi yang menghadap ke arah luar. Aku memperhatikan
orang-orang yang berjalan lalu lalang.
Dan… Apa-apaan ini? Aku menangkap sosok pria yang ada di toko musik tadi
berjalan menuju ke arah coffee shop ini. Hei, seingatku di daerah sini
banyak terdapat coffee shop. Tapi,
kenapa dia datang kemari?
Dan
parahnya dia melihatku. Dengan senyuman yang sama seperti di toko tadi ia
menghampiriku. Ia duduk di kursi yang kosong di depanku. Aku ingin mengusirnya
dari hadapanku. Mood-ku sedang
jelek dan itu karena dia.
Aku melemparkan padangan ke arah luar. Pria itu masih memandangiku, tersenyum
dan kemudian menopang wajah dengan kedua tangannya.
“Agassi, ada yang
mengganggu pikiran Anda? Aku siap menjadi pendengar yang baik,” tawarnya.
Hah? Apa-apaan ini? Siapa dia? Pria
yang aku lihat beberapa jam yang lalu, yang bahkan tidak aku kenal namanya. Aku
semakin ingin meledak.
Aku
berdiri dari kursi. Meninggalkan pria-sok-kenal itu. Mengabaikan segelas Frozen Chocolate yang
masih sisa setengah.
Pria aneh itu benar-benar sukses
membuat perasaanku kacau. Aku berjalan pelan, haruskah aku kembali ke rumah
sekarang? Ah, tidak-tidak. Aku menggelengkan kepalaku. Kalau aku kembali ke
rumah, aku pasti kembali tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Mungkin lebih
baik kalau aku pergi ke taman saja. Lagipula saat ini masih sore dan cuacanya
cukup cerah. Sangat sayang kalau aku langsung pulang ke rumah.
Aku
memilih duduk di sebuah bangku yang menghadap ke arah anak-anak kecil yang
sedang asyik bermain bola. Ah, melihat itu, lagi-lagi aku mengingatnya. Pria
itu sama sekali tidak suka berolah raga. Dia lebih memilih sibuk dengan game console-nya dibandingkan dengan pergi ke gym.
Aku mengingatnya lagi. Waktu terus
berlalu tapi ia masih betah mengakar dalam pikiranku. Aku merindukannya, lagi
dan selalu. Apakah ia merindukanku juga? Aku memejamkan mata, mencoba mengusir
bayangannya dari pikiranku. Aku gagal. Hatiku perih, beku dalam cinta yang
patah.
Ah,
dingin? Aku membuka mata ketika menemukan sesuatu yang dingin menempel di
pipiku. Dan, Oh Tuhan, pria itu di depanku, tersenyum dengan mata segaris. Dan
sumber rasa dingin itu adalah se-cup besar chocolate ice cream yang ia sodorkan.
“Kau?” Akhirnya aku membuka suara.
Dengan ragu aku mengambilnya. Ia tersenyum, lagi. Aku bertanya-tanya apakah ia
tidak lelah selalu tersenyum seperti itu.
“Kita
bertemu lagi, Agassi,” ujarnya
sambil duduk di sebelahku masih dengan senyumnya. Ya Tuhan kenapa bisa Kau
ciptakan makhluk seperti ini.
“Kau
pasti sengaja mengikuti,” gumamku kesal. Dia tersenyum. “Ini takdir, Agassi.”
Takdir? Keningku berkerut. Aku percaya
takdir, tapi tidak seperti ini. Pria ini tiba-tiba hadir dalam waktu yang tidak
sampai 24 jam dan mengatakan ini takdir. Apa ia sudah gila?
“Lee
Jinki imnida,” ucapnya
sambil mengulurkan tangan. “Jadi siapa nama Agassi?”
Aku terdiam. Ia masih tersenyum.
Hangat. Aku akui aku menyukai senyumannya. Senyuman yang terlihat begitu tulus.
Ia menatapku lembut. Aku merasakan ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup
pelan. Tatap mata itu begitu lembut. Matanya kecil dan menjadi segaris jika
tersenyum. Dalam tatap mata itu seakan
hanya ada aku. Sorot mata yang mengikat kuat, membawa dalam takdir.
Ya, mungkin ini takdirku. Aku
tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
It was only a
paper cut.
I’m
okay, I’ll survive. Dan aku akan memulai cerita baru.
“Kyuppa, I’ll move on,”
batinku.
–End–
Langganan:
Postingan (Atom)