–ooOoo–
Dua
bulan… Tepat sudah dua bulan ini aku
hidup dalam bayang-bayangnya. Awan mendung juga selalu setia menemaniku selama dua bulan ini. Selama dua bulan, aku hidup
dalam kesepian yang berkepanjangan. Dan selama dua bulan ini juga aku terjebak
dalam kenangan masa lalu tanpa bisa move on.
Aku terjebak dalam setiap jengkal
kenangan yang ia ukir. Aku meruntuki diriku sendiri. Berubah. Memulai langkah
baru tidak semudah aku melangkahkan kaki. Langkah kaki hampa yang tiba-tiba saja
membawaku ke sebuah toko. Denting piano mengalun pelan. Dan celakanya itu
justru menghadirkan sesosok bayangan. Bayangan ketika ia memainkan sebuah lagu untukku, tepat
di hari terakhir ia memutuskan hubungan kami.
Sial! Kenapa harus lagu itu? Dari sekian banyak lagu yang
ada di dunia ini, kenapa harus lagu itu yang sekarang mengalun dari toko musik
ini?
Dengan segudang rasa kesal yang
bergemuruh dihatiku, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam toko musik itu. Bunyi
lonceng yang tergantung di depan pintu masuk sama sekali tidak menganggu sosok pria yang
tengah asik memainkan lagu. Lagu yang membuatku kembali mengingatnya. Tunggu
sebentar, kembali mengingatnya? Oh, sebenarnya aku sama sekali belum dan tidak
bisa melupakannya.
Aku
berdiri mematung di depan grand piano putih. Rasa kesal yang sejak
tadi bergemuruh mendadak melunak. Ada perasaan lain yang menyusup hadir.
Denting terakhir terdengar dan pria itu menegakkan wajahnya, menatapku. Aku
tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dia tersenyum. Aku masih terdiam.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya
bantu?”
Suara lembutnya terdengar seperti
lonceng yang tadi tergantung di pintu. Aku tersihir. Ia tersenyum lagi ketika
melihatku yang masih belum mengatakan apapun. Jantungku berdetak cepat. Ada apa
ini?
Dulu selama tujuh bulan aku selalu
menatap langit, tapi sepertinya bintang-bintang di langit enggan menunjukkan
sinarnya padaku. Aku sudah mencari, tapi
aku sama sekali tidak mendapatkan pertanda. Aku tahu, di luar sana pasti ada
sesuatu yang bisa mengisi jiwaku lagi. Apakah pria ini?
“Agassi? Ada yang
bisa saya bantu?” pria itu kembali bertanya padaku yang sejak tadi hanya
mematung di hadapannya.
“Kenapa kau memainkan lagu itu?”
pertanyaan paling bodoh meluncur begitu saja dari mulutku. Bisa kulihat kening
pria itu berkerut tapi tak lama dia lalu tersenyum. Senyum yang begitu
menyejukkan.
“Setiap
lagu memiliki makna yang tersembunyi di dalamnya. Agassi tahu?
Walaupun lagu ini terdengar seperti lagu patah hati tapi ada pesan setiap
baitnya. It was only a paper cut.
Setiap rasa sakit hati tidak seperih itu selamanya. Ada banyak hal lain, ada
jalan panjang yang terbentang dan kita
harus bertahan,” jelasnya panjang lebar.
Aku tersentil itulah mengapa aku
membenci lagu ini. Aku tidak pernah baik-baik saja sejak ia pergi. Dadaku
sesak. Aku tahu sebentar lagi akan ada air mata yang siap tumpah. Aku tidak
ingin pria di depanku menganggapku aneh. Dan aku berlari keluar dari toko itu,
tanpa sepatah kata.
-ooOoo-
Aku
melangkahkan kakiku menuju sebuah coffee shop,
sepertinya aku membutuhkan minuman yang mengandung zat endofrin agar bisa
sedikit memperbaiki perasaanku yang berantakan karena pria yang ada di toko
musik tadi.
Segelas Frozen Chocolate dan pancake coklat menjadi pilihanku. Seperti yang
sudah aku katakan tadi, aku sangat membutuhkan suplai coklat.
Aku
memilih duduk di sebuah kursi yang menghadap ke arah luar. Aku memperhatikan
orang-orang yang berjalan lalu lalang.
Dan… Apa-apaan ini? Aku menangkap sosok pria yang ada di toko musik tadi
berjalan menuju ke arah coffee shop ini. Hei, seingatku di daerah sini
banyak terdapat coffee shop. Tapi,
kenapa dia datang kemari?
Dan
parahnya dia melihatku. Dengan senyuman yang sama seperti di toko tadi ia
menghampiriku. Ia duduk di kursi yang kosong di depanku. Aku ingin mengusirnya
dari hadapanku. Mood-ku sedang
jelek dan itu karena dia.
Aku melemparkan padangan ke arah luar. Pria itu masih memandangiku, tersenyum
dan kemudian menopang wajah dengan kedua tangannya.
“Agassi, ada yang
mengganggu pikiran Anda? Aku siap menjadi pendengar yang baik,” tawarnya.
Hah? Apa-apaan ini? Siapa dia? Pria
yang aku lihat beberapa jam yang lalu, yang bahkan tidak aku kenal namanya. Aku
semakin ingin meledak.
Aku
berdiri dari kursi. Meninggalkan pria-sok-kenal itu. Mengabaikan segelas Frozen Chocolate yang
masih sisa setengah.
Pria aneh itu benar-benar sukses
membuat perasaanku kacau. Aku berjalan pelan, haruskah aku kembali ke rumah
sekarang? Ah, tidak-tidak. Aku menggelengkan kepalaku. Kalau aku kembali ke
rumah, aku pasti kembali tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Mungkin lebih
baik kalau aku pergi ke taman saja. Lagipula saat ini masih sore dan cuacanya
cukup cerah. Sangat sayang kalau aku langsung pulang ke rumah.
Aku
memilih duduk di sebuah bangku yang menghadap ke arah anak-anak kecil yang
sedang asyik bermain bola. Ah, melihat itu, lagi-lagi aku mengingatnya. Pria
itu sama sekali tidak suka berolah raga. Dia lebih memilih sibuk dengan game console-nya dibandingkan dengan pergi ke gym.
Aku mengingatnya lagi. Waktu terus
berlalu tapi ia masih betah mengakar dalam pikiranku. Aku merindukannya, lagi
dan selalu. Apakah ia merindukanku juga? Aku memejamkan mata, mencoba mengusir
bayangannya dari pikiranku. Aku gagal. Hatiku perih, beku dalam cinta yang
patah.
Ah,
dingin? Aku membuka mata ketika menemukan sesuatu yang dingin menempel di
pipiku. Dan, Oh Tuhan, pria itu di depanku, tersenyum dengan mata segaris. Dan
sumber rasa dingin itu adalah se-cup besar chocolate ice cream yang ia sodorkan.
“Kau?” Akhirnya aku membuka suara.
Dengan ragu aku mengambilnya. Ia tersenyum, lagi. Aku bertanya-tanya apakah ia
tidak lelah selalu tersenyum seperti itu.
“Kita
bertemu lagi, Agassi,” ujarnya
sambil duduk di sebelahku masih dengan senyumnya. Ya Tuhan kenapa bisa Kau
ciptakan makhluk seperti ini.
“Kau
pasti sengaja mengikuti,” gumamku kesal. Dia tersenyum. “Ini takdir, Agassi.”
Takdir? Keningku berkerut. Aku percaya
takdir, tapi tidak seperti ini. Pria ini tiba-tiba hadir dalam waktu yang tidak
sampai 24 jam dan mengatakan ini takdir. Apa ia sudah gila?
“Lee
Jinki imnida,” ucapnya
sambil mengulurkan tangan. “Jadi siapa nama Agassi?”
Aku terdiam. Ia masih tersenyum.
Hangat. Aku akui aku menyukai senyumannya. Senyuman yang terlihat begitu tulus.
Ia menatapku lembut. Aku merasakan ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup
pelan. Tatap mata itu begitu lembut. Matanya kecil dan menjadi segaris jika
tersenyum. Dalam tatap mata itu seakan
hanya ada aku. Sorot mata yang mengikat kuat, membawa dalam takdir.
Ya, mungkin ini takdirku. Aku
tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
It was only a
paper cut.
I’m
okay, I’ll survive. Dan aku akan memulai cerita baru.
“Kyuppa, I’ll move on,”
batinku.
–End–
Tidak ada komentar:
Posting Komentar