Kamis, 07 Juni 2012

I'll Move On





–ooOoo–


Dua bulan… Tepat sudah dua bulan  ini aku hidup dalam bayang-bayangnya. Awan mendung juga selalu setia menemaniku selama  dua bulan ini. Selama dua bulan, aku hidup dalam kesepian yang berkepanjangan. Dan selama dua bulan ini juga aku terjebak dalam kenangan masa lalu tanpa bisa move on.
Aku terjebak dalam setiap jengkal kenangan yang ia ukir. Aku meruntuki diriku sendiri. Berubah. Memulai langkah baru tidak semudah aku  melangkahkan  kaki. Langkah kaki hampa yang tiba-tiba saja membawaku ke sebuah toko. Denting piano mengalun pelan. Dan celakanya itu justru menghadirkan sesosok bayangan. Bayangan  ketika ia memainkan sebuah lagu untukku, tepat di hari terakhir ia memutuskan hubungan kami.
Sial! Kenapa harus lagu itu? Dari sekian banyak lagu yang ada di dunia ini, kenapa harus lagu itu yang sekarang mengalun dari toko musik ini?
Dengan segudang rasa kesal yang bergemuruh dihatiku, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam toko musik itu. Bunyi lonceng  yang tergantung di depan pintu  masuk sama sekali tidak menganggu sosok pria yang tengah asik memainkan lagu. Lagu yang membuatku kembali mengingatnya. Tunggu sebentar, kembali mengingatnya? Oh, sebenarnya aku sama sekali belum dan tidak bisa melupakannya.
Aku berdiri mematung di depan grand piano putih. Rasa kesal yang sejak tadi bergemuruh mendadak melunak. Ada perasaan lain yang menyusup hadir. Denting terakhir terdengar dan pria itu menegakkan wajahnya, menatapku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dia tersenyum. Aku masih terdiam.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”
Suara lembutnya terdengar seperti lonceng yang tadi tergantung di pintu. Aku tersihir. Ia tersenyum lagi ketika melihatku yang masih belum mengatakan apapun. Jantungku berdetak cepat. Ada apa ini?
Dulu selama tujuh bulan aku selalu menatap langit, tapi sepertinya bintang-bintang di langit enggan menunjukkan sinarnya padaku.  Aku sudah mencari, tapi aku sama sekali tidak mendapatkan pertanda. Aku tahu, di luar sana pasti ada sesuatu yang bisa mengisi jiwaku lagi. Apakah pria ini?
Agassi? Ada yang bisa saya bantu?” pria itu kembali bertanya padaku yang sejak tadi hanya mematung di hadapannya.
“Kenapa kau memainkan lagu itu?” pertanyaan paling bodoh meluncur begitu saja dari mulutku. Bisa kulihat kening pria itu berkerut tapi tak lama dia lalu tersenyum. Senyum yang begitu menyejukkan.
“Setiap lagu memiliki makna yang tersembunyi di dalamnya. Agassi tahu? Walaupun lagu ini terdengar seperti lagu patah hati tapi ada pesan setiap baitnya. It was only a paper cut. Setiap rasa sakit hati tidak seperih itu selamanya. Ada banyak hal lain, ada jalan  panjang yang terbentang dan kita harus bertahan,” jelasnya panjang lebar.
Aku tersentil itulah mengapa aku membenci lagu ini. Aku tidak pernah baik-baik saja sejak ia pergi. Dadaku sesak. Aku tahu sebentar lagi akan ada air mata yang siap tumpah. Aku tidak ingin pria di depanku menganggapku aneh. Dan aku berlari keluar dari toko itu, tanpa sepatah kata.
-ooOoo-
Aku melangkahkan kakiku menuju sebuah coffee shop, sepertinya aku membutuhkan minuman yang mengandung zat endofrin agar bisa sedikit memperbaiki perasaanku yang berantakan karena pria yang ada di toko musik tadi.
Segelas Frozen Chocolate dan pancake coklat menjadi pilihanku. Seperti yang sudah aku katakan tadi, aku sangat membutuhkan suplai coklat.
Aku memilih duduk di sebuah kursi yang menghadap ke arah luar. Aku memperhatikan orang-orang yang berjalan  lalu lalang. Dan… Apa-apaan ini? Aku menangkap sosok pria yang ada di toko musik tadi berjalan menuju ke arah coffee shop ini. Hei, seingatku di daerah sini banyak terdapat coffee shop. Tapi, kenapa dia datang kemari?
Dan parahnya dia melihatku. Dengan senyuman yang sama seperti di toko tadi ia menghampiriku. Ia duduk di kursi yang kosong di depanku. Aku ingin mengusirnya dari hadapanku. Mood-ku sedang jelek dan itu karena dia.
Aku melemparkan padangan ke arah  luar. Pria itu masih memandangiku, tersenyum dan kemudian menopang wajah dengan kedua tangannya.
Agassi, ada yang mengganggu pikiran Anda? Aku siap menjadi pendengar yang baik,” tawarnya.
Hah? Apa-apaan ini? Siapa dia? Pria yang aku lihat beberapa jam yang lalu, yang bahkan tidak aku kenal namanya. Aku semakin ingin meledak.
Aku berdiri dari kursi. Meninggalkan pria-sok-kenal itu. Mengabaikan segelas Frozen Chocolate yang masih sisa setengah.
Pria aneh itu benar-benar sukses membuat perasaanku kacau. Aku berjalan pelan, haruskah aku kembali ke rumah sekarang? Ah, tidak-tidak. Aku menggelengkan kepalaku. Kalau aku kembali ke rumah, aku pasti kembali tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Mungkin lebih baik kalau aku pergi ke taman saja. Lagipula saat ini masih sore dan cuacanya cukup cerah. Sangat sayang kalau aku langsung pulang ke rumah.
Aku memilih duduk di sebuah bangku yang menghadap ke arah anak-anak kecil yang sedang asyik bermain bola. Ah, melihat itu, lagi-lagi aku mengingatnya. Pria itu sama sekali tidak suka berolah raga. Dia lebih memilih sibuk dengan game console-nya dibandingkan dengan pergi ke gym.
Aku mengingatnya lagi. Waktu terus berlalu tapi ia masih betah mengakar dalam pikiranku. Aku merindukannya, lagi dan selalu. Apakah ia merindukanku juga? Aku memejamkan mata, mencoba mengusir bayangannya dari pikiranku. Aku gagal. Hatiku perih, beku dalam cinta yang patah.
Ah, dingin? Aku membuka mata ketika menemukan sesuatu yang dingin menempel di pipiku. Dan, Oh Tuhan, pria itu di depanku, tersenyum dengan mata segaris. Dan sumber rasa dingin itu adalah se-cup besar chocolate ice cream yang ia sodorkan.
“Kau?” Akhirnya aku membuka suara. Dengan ragu aku mengambilnya. Ia tersenyum, lagi. Aku bertanya-tanya apakah ia tidak lelah selalu tersenyum seperti itu.
“Kita bertemu lagi, Agassi,” ujarnya sambil duduk di sebelahku masih dengan senyumnya. Ya Tuhan kenapa bisa Kau ciptakan makhluk seperti ini.
“Kau pasti sengaja mengikuti,” gumamku kesal. Dia tersenyum. “Ini takdir, Agassi.”
Takdir? Keningku berkerut. Aku percaya takdir, tapi tidak seperti ini. Pria ini tiba-tiba hadir dalam waktu yang tidak sampai 24 jam dan mengatakan ini takdir. Apa ia sudah gila?
“Lee Jinki imnida,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Jadi siapa nama Agassi?”
Aku terdiam. Ia masih tersenyum. Hangat. Aku akui aku menyukai senyumannya. Senyuman yang terlihat begitu tulus. Ia menatapku lembut. Aku merasakan ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup pelan. Tatap mata itu begitu lembut. Matanya kecil dan menjadi segaris jika tersenyum. Dalam  tatap mata itu seakan hanya ada aku. Sorot mata yang mengikat kuat, membawa dalam takdir.
Ya, mungkin ini takdirku. Aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
It was only a paper cut.
I’m okay, I’ll survive. Dan aku akan memulai cerita baru. “Kyuppa, I’ll move on,” batinku.
End


Tidak ada komentar:

Posting Komentar