Senin, 25 Juni 2012

Pendakian Gunung Pangrango part. 3


Minggu, 17 Juni 2012
Keesokan harinya, kami disambut oleh kicauan burung dan pancaran sang mentari yang menghangatkan tubuh  kami. Tak lama setelah kami bangun, kami langsung keluar tenda untuk melihat matahari terbit ditemani pemandangan alam di puncak Pangrango. Indah sekali memang. Sementara itu, beberapa teman ada yang memasak untuk sarapan. Menu sarapan kami pagi itu adalah spaghetti dengan saus sarden dan kornet diatasnya. Hhmm yummy!! Ada juga yang berfoto dengan pendaki lain. Sarapan telah siap. Kami langsung merapat ke tenda untuk menikmati sarapan kami kali ini.

Setelah sarapan, kami langsung menuju lembah Mandalawangi. Letaknya sekitar 10 menit dari puncak Pangrango. Sebuah pemandangan berisi pohon-pohon edelweis yang bergerombol, di padang rumput, berlatar bukit. Kabut tipis, suhu yang membuat kami tak banyak bicara, pucuk-pucuk edelweis yang bicara tentang keabadian, dan akhirnya kami hanya akan mendengar angin yang membelai lembut keheningan sekitar. Edelweis yang seakan bicara dengan tanah dalam bahasa yang kami tidak mengerti. Ia tidak tumbuh tinggi, tapi mampu mengajak manusia memuji Tuhan di lembah Mandalawangi, dan menyentuh awan di puncak Gunung Pangrango. Lagi-lagi keindahannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kamipun menyempatkan diri untuk berfoto.
Matahari telah tinggi di ufuk timur. Setelah puas “menjelajahi” lembah Mandalawangi, kami kembali ke camp di puncak. Kami speechless. Kami duduk sebentar, menikmati kabut, pohon cantigi, dan gerombolan edelweis. Kami mendekat ke bibir jurang untuk melihat mereka. Cantigi,  yang hanya tumbuh di puncak-puncak gunung, dan satu lagi yang kami nanti nantikan yaitu, edelweis. Setelah itu kami diajak turun sedikit. Kami mencoba semacam buah berry. Yang ternyata kami ketahui buah itu bernama arbey. Rasanya memang seperti buah berry pada umumnya. Tapi buah ini menyajikan sensasi tersendiri karena arbey hanya hidup di gunung. Dan biasanya disebut makanan gunung. Lumayan lah untuk cemilan kami di pagi hari.

Setelah puas menikmati pemandangan di puncak Pangrango, kamipun bergegas untuk membereskan tenda dan packing. Sekitar pukul 08.00, kami memutuskan untuk segera turun gunung. Perjalanan turun melelahkan, amat melelahkan. Dengkul kami juga kena. Kaki sudah letih. Kami lanjut turun dan akhirnya sampai juga di kandang badak sekitar pukul 11.30. Dan kami memutuskan untuk beristirahat. Berhenti untuk sekedar mengganjal perut dan memasak air minum untuk perbekalan kami hingga kaki gunung.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan sampai pada akhirnya kami mampir di air terjun cibeureum. Kami bergegas menyusuri jalan menuju air terjun tersebut. Tapi, kakak pembina kami, Amel, dan Nadiah lebih memilih tinggal di shelter sembari menjaga tas kami. Setelah puas bermain-main di air terjun, kami melanjutkan perjalanan kami menuju pos. Di tengah perjalanan, kami mampir ke telaga biru untuk sekedar packing ulang dan berfoto-foto.

Langit mulai gelap dan pastinya hari mulai malam. Kamipun melanjutkan perjalanan. Mendengar obrolan pendaki lain bahwa pos pertama hanya sekitar 16 hm lagi, semangat kamipun membara. Dengan tenaga yang tersisa, kami terus menuruni kaki gunung. Tepat pukul 18.00 kamipun sampai di pos pertama. Sambil menunggu beberapa teman & kakak pembina, kamipun beristirahat. Setelah semuanya telah sampai di tempat, kami langsung menyerahkan form mengenai barang pribadi dan list barang yang kemungkinan menghasilkan sampah & barang yang mengandung bahan kimia.

Sesudah itu kamipun segera menuju masjid yang ada di lingkungan gedung information centre. Disana kami shalat dan menyempatkan diri untuk beristirahat. Ada yang ganti pakaian, ada yang pijet-pijetan, ada yang jalan-jalan, ada yang... hhmm banyak deh pokoknya. Oiya, ada kejadian yang bikin kami panik. Ternyata handycam Pandini hilang, kami tidak tahu bagaimana alur kejadiannya. Tapi saat itu juga Pandini, ditemani Ummay dan Ghiffari segera mencari handycam tersebut. Sementara yang lain lebih memilih tinggal di masjid. Beberapa menit kemudian, mereka datang dengan membawa handycam yang diduga hilang sebelumnya. Ternyata, handycam tersebut tertinggal di dekat pos yang kita tempati untuk istirahat sebelumnya.

Sekitar pukul 19.30 kamipun segera meninggalkan TNGGP. Setelah itu, kami mampir ke warung makan untuk mengisi perut kami. Lalu kami lanjut pulang dengan menaiki angkot kuning sampai tempat pemberhentian bis. Turun dari angkot, kamipun segera menunggu bis. Cukup lama kami menunggu, akhirnya ada juga bis yang lewat. Hari sudah malam, beruntung kami dapat tempat duduk. Di dalam bis, kami tertidur pulas sampai-sampai tidak sadar kalau kami sudah berada di terminal kampung rambutan.

Kami masih tidak percaya, dua malam kami menginap di Pangrango. Kami kembali teringat suara angin mendesir, hanya nafas yang menunjukkan bahwa kami ada di sana.

                                                                                                               -THE END-

Mendaki Gunung


Meniti seutas tali sebrangi jurang dalam
Lintasi sungai deras
Ikuti arus lewati jeram2 diantara batu
Merayap dan bergantungan dibukit cadas terjal
Sampaikan salam pada alam

Diam terpaku diatas batu besar
Memandang jauh dibatas langit dan bumi
Biarkan aliran udara sejuk dinginkan jiwa
Menanti mentari terbit diufuk
Bersujud diatas awan dipuncak tanah tertinggi
Duduk bersimpuh serasa melayang

Hamparan Edelweis abadi
Tatapan teduh
Tanpa kata-kata
Melangkah pulang dengan baterai jiwa terisi penuh
Tersenyum..

Pendakian Gunung Pangrango part. 2


Sabtu, 16 Juni 2012
Keesokan harinya, kami disambut oleh kicauan burung dan pancaran sang mentari yang menghangatkan tubuh  kami. Tak lama setelah kami bangun, kami berniat untuk melanjutkan perjalanan. Kami  sempat mengadakan super trap dadakan dengan target utama para pendaki yang melintasi tempat ngecamp kami.

Udara gunung di pagi hari lumayan menusuk. Namun sempat beberapa saat cekikan dingin Pangrango lenyap seketika oleh panasnya air sungai yang kami lewati. Suhunya hampir 80 derajat. Sumber air panas sedikit berbahaya. licin, dan panas. Berpegangan pada kabel-kabel adalah pilihan satu-satunya. Setelah melewati aliran air panas diatas batu-batu licin itu, kami beristirahat. Disana kami berhenti sejenak untuk menikmati nasi uduk yang dijajakan oleh penduduk sekitar. Ketika makan nasi uduk teman kami berinisial APA digombali oleh orang aneh pendaki juga untung saja ada superhero datang yang berinisial MWSU untuk menyelamatkan APA. (Wow so sweet yah!) Tak terlalu jauh dari air panas terdapat tempat camp yang disebut Kandang Batu. Terlihat puncak Pangrango memanggil-manggil di balik kabut tipis. Lalu kami melanjutkan perjalanan menuju kandang badak.

Lega rasanya siang itu kami tiba di Kandang Badak. Setelah sampai di kandang badak, kami beristirahat sejenak untuk menikmati snack yang kami bawa juga mengisi botol-botol kosong dengan air bersih. Tak lama kemudian, kami langsung melanjutkan perjalanan. Jalur setelah itu bertambah sulit untuk rintangan kepala, namun untuk jalur kaki lumayan menyenangkan. Tidak ada jalur batu lagi. Namun kami harus banyak memanjat lagi. Di pertengahan jalan, kami istirahat sejenak untuk makan siang dan menunaikan shalat zuhur. Beberapa teman serta kakak pembina kami langsung memasak sesuai menu yang telah ditentukan, yaitu dengan tumis labusiem dan teri kacang. Tadinya mau makan tahu tetapi sepertinya tahunya dimakan musang saat ngecamp pertama. Hhft.. setelah makan siang, kamipun melanjutkan perjalanan menuju puncak Pangrango. (y)
Jalan menuju puncak Pangrango semakin ke atas semakin terjal. Hutan Pangrango memang lebat dan agak gelap. Banyak pohon tumbang melintang yang harus kami lalui. Jalurnya pun lumayan menguras tenaga. Menanjak dan sesekali harus sedikit memanjat akar-akaran. Ada yang kakinya slip di batu dan ada juga yang anklenya sakit. Membengkak sedikit, dan membuat perjalanan sedikit lebih lama. Jalurnya sangat menantang, pohon disana-sini, menghalangi jalan, tak jarang kami harus berjongkok, membungkuk, melompat pelan, dan memanjatnya. Cukup menguras tenaga memang. Tapi puncak Pangrango dan lembah Mandalawangi yang menjadi impian kami seolah berteriak, “Take a rest if you must but never quit!”.  Di sini hutannya memang terjaga. Rindang dan nyaman. Itu kesan kami. Pelajaran berharga dalam mengatur ritme berjalan kami dapat dari Kak Endri. Berjalan di belakangnya dan mengikuti langkahnya membuat kami dengan sendirinya mengatur ritme berjalan, nafas, dan istirahat. Terima kasih, Kak… ^_^

Setelah melewati perjalanan yang cukup berat, sekitar pukul 18.00 tibalah kami di puncak Pangrango. Tidak disangka kami berada di ketinggian 3019 mdpl. Perjuangan ke puncak Pangrango menakjubkan. Dari puncak Pangrango kami dapat melihat kawah Gede dan gigiran kawah jalur menuju puncaknya. Sungguh indah! Cakrawala ufuk barat berselimutkan awan dan bertabur warna senja. Indah! Tak bisa kami lukiskan kebahagiaan yang menyusup di hati kami ketika melihat tugu puncak Pangrango. Dalam beberapa pendakian, inilah pendakian pertama kami dimana kami berhasil menginjakkan kaki di puncak gunung. Puncak Pangrango tidak seperti puncak gunung kebanyakan yang memiliki medan datar beberapa meter saja.

Di puncak Pangrango ini kita bahkan bisa membuat camp tanpa khawatir diserang angin kencang sebab banyak pohon tumbuh. Tak berapa lama kemudian teman yang lain pun sampai di puncak. Ya, kami terpecah menjadi dua tim dalam perjalanan menuju puncak. Setelah semua teman sampai, kami segera membangun tenda karena banyak yang sudah tidak kuat menahan dingin. Sementara beberapa teman mendirikan tenda, kami menikmati keindahan alam di puncak Pangrango ini. Kami speechless. Kami duduk sebentar, menikmati kabut, pohon cantigi, dan gerombolan edelweis. Sembari melihat matahari terbenam. Tapi sayang sekali, kami hanya bisa melihat bayangannya dikarenakan tertutup awan & gunung Gede.

Setelah tendanya jadi, kamipun segera masuk ke dalam tenda karena udara benar-benar dingin. Lalu, kami segera menyalakan kompor di dalam tenda agar suhu di dalam tenda menjadi hangat. Setelah itu, kami memasak coklat hangat dan rawon untuk mengisi perut yang sejak sore sudah keroncongan. Dan akhirnya kami makan & minum segelas coklat hangat sambil melepas senja. Kami berencana keluar dari tenda setelah makan untuk melihat taburan bintang, dan sinar rembulan di malam yang sunyi itu. Tapi sayang sekali lagi lagi kami belum beruntung. Karena cuaca di malam itu mendung. Kami sedikit menyesal, tapi mungkin belum saatnya kami bisa melihat taburan bintang dan sinar rembulan di malam itu. Mungkin lain kali. Semoga saja. Lelah telah menggelayuti tubuh kami. Sekitar pukul 21.00, kami segera tidur ditemani suara angin yang meniup pohon-pohon (suaranya seperti mobil yang sedang melaju kencang) dan dinginnya puncak Pangrango di malam hari.


                                                                                                       to be continued....

Puisi Pendaki Cilik



Kerinduan nyanyian alam
Membawa angan melayang
Susuri tapak-tapak kaki silam
Tertutup semak berduri dan berdebu
Yang sekian lama menyesak kalbu
Menguji kekuatan sanubari kehidupan demi kehidupan
Menuju puncak kehormatan meski tanpa bentuk
Seperti terlukis dalam benak


Semakin lama langkah tak terkendali, terseok-seok
Jatuh bangun, kadang keluar jalur setapak
Aku tersentak, bingung, kagum, penat, …

Entah apalagi
Terdiam berdiri kutoleh ke segala penjuru arah
Oh… ternyata harus jengah sejenak mengusap keringat
Dingin berselimut kabut terasa menusuk belulang
Terduduk lamunan membawa bimbang
Pada seluruh perseteruan rasa, asa, dan maut…


Namun, gejolak itu cepat mereda terbuai
Rona alam yang tak asing dalam ingatan
Keabadian edelweis mengejek sisa-sisa semangat
Aku marah …
Aku berontak menggandeng segenap rasa
Yang bersemayam dalam diri mencoba jejakkan langkah
Pada episode selanjutnya


Akhirnya, …
Perjalanan hidup mati ini pun sampai pada puncaknya
Sembah sujud mencium tanah kebebasan
Sembari histeris mengagungkan nama Ilahi


Dan …
Terdiam kurenung menyadari
Begitu banyak puncak yang belum terdaki,
Ternyata masih belum waktunya
Melepas tawa-tawa bahagia

Pendakian Gunung Pangrango part. 1


Created by:
Pandini Putri Anggraeni, Amalia Pradipta Arsyad, Ummaymatul Anin, Nadiah Agustin, M. Rizqi Ghiffari, Rizaldi Dwi Septianto, dan
M. Wildan Satrio Utomo

Jumat, 15 Juni 2012
Pagi itu, sekitar pukul 09.00 Pandini Putri Anggraeni, Amalia Pradipta Arsyad, Ummaymatul Anin, Nadiah Agustin, M. Rizqi Ghiffari, Rizaldi Dwi Septianto, M. Wildan Satrio Utomo, dan Nurul Gamal, serta kakak pembina kami Endri Siswanto berencana mendaki gunung. Mereka sibuk mempacking berbagai macam barang ke dalam tas carrier mereka yang rata-rata tingginya hampir satu meter. Kali ini kami akan melakukan pendakian di Gunung Pangrango yang terletak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur, Cibodas, Jawa Barat. Wow! Lumayan jauh ya.

Awalnya kami harus melakukan administrasi untuk pendaftaran. Karena zaman udah modern dan teknologinya lebih canggih, jadi kami tidak perlu datang langsung ke tempat pendaftaran tapi hanya perlu online yang sebenarnya lebih rumit. Kami melakukan itu sendiri tanpa campur tangan kakak pembina. Dari mulai pendaftaran, kami menyiapkan surat izin disertai fotokopi KTP orangtua dan juga melakukan pentransferan uang ke rekening Bank BNI Cabang Cipanas atas nama Balai Besar TNGGP (pnbp).

Hingga hari keberangkatan, kami berkumpul di depan salah satu supermarket di dekat sekolah kami. Kami berangkat  menaiki angkutan umum 61 sampai Cilandak lalu kami menaiki koantas bima jurusan  terminal kampung rambutan. Sesampainya di Kampung Rambutan, kami langsung naik bis biasa menuju Cibodas. Suasana dalam bis sangat sumpek, panas, dan bising. Tapi suasana itu menjadi daya tarik tersendiri bagi kami. Tak henti-hentinya kami senyum-senyum sendiri mendengarkan teriakan para pedagang asongan yang lalu lalang menjajakan dagangan mereka. “Air air air mijon mijon yang haus, pokari dingin pokarimas (emang ada ya pokarimas?).” Seorang bapak-bapak gendut dan botak berteriak dengan kolokasi yang ngawur seraya mengangkat box berisi berbagai macam minuman. Dari arah yang berlawanan seorang ibu dengan tas pinggang lusuh tak mau kalah lantang mempromosikan barangnya. Ada juga pengamen yang meminta imbalan secara paksa kepada penumpang. Sialnya, yang paling dipaksa itu kami sampai-sampai kami terdiam tanpa kata karena takut dengan pengamen tersebut. Beruntung pengamen tersebut langsung turun dari bis yang kami naiki. Tak terasa telah berjam-jam kami duduk di dalam gerbong tua itu. Perut pun sudah mulai minta isi.

Empat jam kemudian...
Kami sampai di pemberhentian bis dan langsung menyarter sebuah angkot kuning menuju gedung information centre yang ada di kaki gunung. Waktu yang kami tempuh hanya 15 menit saja. Turun dari angkot, kami di sambut oleh dinginnya udara pegunungan Cibodas. Tapi itu tak menyurutkan semangat kami untuk mendaki Pangrango yang sudah di depan mata.

Sesampainya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), kami langsung menuju ke gedung information centre untuk administrasi ulang, walaupun sedikit mengalami permasalahan yang menghabiskan waktu kami, akhirnya pengurusan administrasi selesai juga. Di dekat pintu masuk terdapat posko yang mengurusi perizinan. Semua pengunjung diwajibkan melapor terlebih dahulu sebelum maupun sesudah pendakian. Bahkan peraturan disini juga mewajibkan pengunjung mengisi form mengenai barang pribadi dan list barang yang kemungkinan menghasilkan sampah & barang yang mengandung bahan kimia.

Setelah mengurus persyaratan di atas, kami mengawali trip ini dengan doa bersama. Sebuah permohonan kepada Allah untuk keselamatan, kegembiraan, dan kemudahan kami dalam mendaki gunung ini. Sekitar pukul 16.00, kami memulai pendakian dengan menapaki satu demi satu anak tangga yang disusun dari batu-batu. Pohon-pohon yang kokoh dan rindang begitu rapat menghalangi sinar matahari yang sore itu cukup terik. Terus berjalan, terus berjalan. Kami kerap kelelahan. Setelah berjalan sekitar 1,5 km, tibalah kami di telaga biru. Telaga biru merupakan danau kecil berukuran lima hektar. Di papan keterangan yang ada di dekat aliran air diterangkan bahwa telaga biru yang warnanya bisa berubah-ubah tersebut kaya akan nutrisi dan mineral yang berasal dari pertumbuhan organis dan batuan serta tanah vulkanis yang terlarutkan. Dan kami memutuskan untuk break disini.

Tak lama kemudian kami meneruskan perjalanan. Jalannya masih berupa anak tangga seperti yang ada sejak di pintu masuk. Tapi kemudian kami harus melewati jembatan yang kondisinya agak memprihatinkan sehingga kami harus ekstra hati-hati agar tidak terperosok. Sekitar pukul  18.30, kami tiba di shelter dan langsung mengambil air wudhu di aliran sungai untuk melaksanakan shalat maghrib. Di shelter terdapat penunjuk arah yang berbentuk tanda panah yang di lengkapi keterangan: Air Panas 2,8 Km, Puncak Gede 8,5 Km,  Puncak Pangrango 10,5 Km. Dari shelter tempat kami beristirahat sangat jelas terdengar suara gemericik air terjun cibeureum yang tingginya kurang lebih 50 meter. Namun sayang karena sampai disana sudah malam, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi air terjun yang letaknya tak searah dengan jalan menuju puncak tersebut ketika pulang saja. Selesai shalat, kami memasak ubi bakar cilembu dan membuat coklat hangat.

Tanpa berlama-lama, setelah mengganjal perut secukupnya, kami pun melanjutkan perjalanan dengan ritme yang mulai menurun. Udara gunung di malam hari yang lumayan menusuk semakin memperlambat langkah kami. Hari pun mulai larut malam dan kami memutuskan untuk ngecamp di pelataran yang cukup luas dan mendirikan sebuah tenda. Setelah tenda berdiri, beberapa teman dan kakak pembina kami langsung memasak sesuai menu yang telah ditentukan. Makan malam pun telah siap. Tanpa menunggu lagi langsung saja kami sikat jatah kami masing-masing. Tapi beberapa teman lebih memilih untuk tidur saja. Terutama si anak pacet ( kak gamal ) tertidur yang membuat gaduh seisi tenda. Mungkin karena udara yang sangat dingin & lelah, dia jadi malas. Setelah makan malam selesai, kami pun tidur dengan nyenyaknya.


                                                                                                            to be continued....

Assalamu'alaikum :D
atuk ooo atuk yeye lalala yeyeye lalala~ bingung nih mau ngepost apa maaf ya jadi gajelas gini deh. curhat dikit ah. gue bete hari ini banyak yang marah-marah sama gue tanpa alasan yang jelas. super duper bete dah pokoknya. puncaknya malem ini nih ada satu cowo yang marah-marah ke gue tiba-tiba gitu lagi-___- pengen gue buang ke laut beneran deh (itupun kalo bisa) udah emosi banget gue sampe gue katain apaan tuh anak segala pake suruh minta maaf ke ibunya lah -_- auamat lah. eh taunya tuh bocah cuma ngerjain gue. gue jadi merasa terbodohi sama semua smsnya tuh bocah-_- sampe sampe gue gaberani manggil dia dengan nama itu lagi. hhft untung aja gue ga ngomong macem macem yak.
oiya gue mau ngepost tentang hiking gunung pangrango nih tapi kapan ya? jadi tuh ceritanya gue, ummay, pandini, amel, wildan, ghiffari, rizaldi (gaberani manggil ciplong ntar dimarahin lagi), kak gamal, dan kak endri berencana mau mendaki gunung gitu tapi tujuan kita untuk rekreasi bukan menaklukan hehehe. ehiya asal-kalian-tau-aja mereka semua itu anggota pramuka aktif. terus gue?
yak gue bukan anggota pramuka aktif, bisa dibilang gue jb jb aja. ya begitulah. untungnya mereka baik baik ya jadi gampang beradaptasinya deh. hehe :D
eh gue lagi buat cerita tentang hiking kemaren nih. ngerjainnya sambil ngablu dikit lah tapi yang penting jadi wkwk udah dulu ya!
Wassalamualaikum :D

Kamis, 07 Juni 2012

I'll Move On





–ooOoo–


Dua bulan… Tepat sudah dua bulan  ini aku hidup dalam bayang-bayangnya. Awan mendung juga selalu setia menemaniku selama  dua bulan ini. Selama dua bulan, aku hidup dalam kesepian yang berkepanjangan. Dan selama dua bulan ini juga aku terjebak dalam kenangan masa lalu tanpa bisa move on.
Aku terjebak dalam setiap jengkal kenangan yang ia ukir. Aku meruntuki diriku sendiri. Berubah. Memulai langkah baru tidak semudah aku  melangkahkan  kaki. Langkah kaki hampa yang tiba-tiba saja membawaku ke sebuah toko. Denting piano mengalun pelan. Dan celakanya itu justru menghadirkan sesosok bayangan. Bayangan  ketika ia memainkan sebuah lagu untukku, tepat di hari terakhir ia memutuskan hubungan kami.
Sial! Kenapa harus lagu itu? Dari sekian banyak lagu yang ada di dunia ini, kenapa harus lagu itu yang sekarang mengalun dari toko musik ini?
Dengan segudang rasa kesal yang bergemuruh dihatiku, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam toko musik itu. Bunyi lonceng  yang tergantung di depan pintu  masuk sama sekali tidak menganggu sosok pria yang tengah asik memainkan lagu. Lagu yang membuatku kembali mengingatnya. Tunggu sebentar, kembali mengingatnya? Oh, sebenarnya aku sama sekali belum dan tidak bisa melupakannya.
Aku berdiri mematung di depan grand piano putih. Rasa kesal yang sejak tadi bergemuruh mendadak melunak. Ada perasaan lain yang menyusup hadir. Denting terakhir terdengar dan pria itu menegakkan wajahnya, menatapku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dia tersenyum. Aku masih terdiam.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”
Suara lembutnya terdengar seperti lonceng yang tadi tergantung di pintu. Aku tersihir. Ia tersenyum lagi ketika melihatku yang masih belum mengatakan apapun. Jantungku berdetak cepat. Ada apa ini?
Dulu selama tujuh bulan aku selalu menatap langit, tapi sepertinya bintang-bintang di langit enggan menunjukkan sinarnya padaku.  Aku sudah mencari, tapi aku sama sekali tidak mendapatkan pertanda. Aku tahu, di luar sana pasti ada sesuatu yang bisa mengisi jiwaku lagi. Apakah pria ini?
Agassi? Ada yang bisa saya bantu?” pria itu kembali bertanya padaku yang sejak tadi hanya mematung di hadapannya.
“Kenapa kau memainkan lagu itu?” pertanyaan paling bodoh meluncur begitu saja dari mulutku. Bisa kulihat kening pria itu berkerut tapi tak lama dia lalu tersenyum. Senyum yang begitu menyejukkan.
“Setiap lagu memiliki makna yang tersembunyi di dalamnya. Agassi tahu? Walaupun lagu ini terdengar seperti lagu patah hati tapi ada pesan setiap baitnya. It was only a paper cut. Setiap rasa sakit hati tidak seperih itu selamanya. Ada banyak hal lain, ada jalan  panjang yang terbentang dan kita harus bertahan,” jelasnya panjang lebar.
Aku tersentil itulah mengapa aku membenci lagu ini. Aku tidak pernah baik-baik saja sejak ia pergi. Dadaku sesak. Aku tahu sebentar lagi akan ada air mata yang siap tumpah. Aku tidak ingin pria di depanku menganggapku aneh. Dan aku berlari keluar dari toko itu, tanpa sepatah kata.
-ooOoo-
Aku melangkahkan kakiku menuju sebuah coffee shop, sepertinya aku membutuhkan minuman yang mengandung zat endofrin agar bisa sedikit memperbaiki perasaanku yang berantakan karena pria yang ada di toko musik tadi.
Segelas Frozen Chocolate dan pancake coklat menjadi pilihanku. Seperti yang sudah aku katakan tadi, aku sangat membutuhkan suplai coklat.
Aku memilih duduk di sebuah kursi yang menghadap ke arah luar. Aku memperhatikan orang-orang yang berjalan  lalu lalang. Dan… Apa-apaan ini? Aku menangkap sosok pria yang ada di toko musik tadi berjalan menuju ke arah coffee shop ini. Hei, seingatku di daerah sini banyak terdapat coffee shop. Tapi, kenapa dia datang kemari?
Dan parahnya dia melihatku. Dengan senyuman yang sama seperti di toko tadi ia menghampiriku. Ia duduk di kursi yang kosong di depanku. Aku ingin mengusirnya dari hadapanku. Mood-ku sedang jelek dan itu karena dia.
Aku melemparkan padangan ke arah  luar. Pria itu masih memandangiku, tersenyum dan kemudian menopang wajah dengan kedua tangannya.
Agassi, ada yang mengganggu pikiran Anda? Aku siap menjadi pendengar yang baik,” tawarnya.
Hah? Apa-apaan ini? Siapa dia? Pria yang aku lihat beberapa jam yang lalu, yang bahkan tidak aku kenal namanya. Aku semakin ingin meledak.
Aku berdiri dari kursi. Meninggalkan pria-sok-kenal itu. Mengabaikan segelas Frozen Chocolate yang masih sisa setengah.
Pria aneh itu benar-benar sukses membuat perasaanku kacau. Aku berjalan pelan, haruskah aku kembali ke rumah sekarang? Ah, tidak-tidak. Aku menggelengkan kepalaku. Kalau aku kembali ke rumah, aku pasti kembali tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Mungkin lebih baik kalau aku pergi ke taman saja. Lagipula saat ini masih sore dan cuacanya cukup cerah. Sangat sayang kalau aku langsung pulang ke rumah.
Aku memilih duduk di sebuah bangku yang menghadap ke arah anak-anak kecil yang sedang asyik bermain bola. Ah, melihat itu, lagi-lagi aku mengingatnya. Pria itu sama sekali tidak suka berolah raga. Dia lebih memilih sibuk dengan game console-nya dibandingkan dengan pergi ke gym.
Aku mengingatnya lagi. Waktu terus berlalu tapi ia masih betah mengakar dalam pikiranku. Aku merindukannya, lagi dan selalu. Apakah ia merindukanku juga? Aku memejamkan mata, mencoba mengusir bayangannya dari pikiranku. Aku gagal. Hatiku perih, beku dalam cinta yang patah.
Ah, dingin? Aku membuka mata ketika menemukan sesuatu yang dingin menempel di pipiku. Dan, Oh Tuhan, pria itu di depanku, tersenyum dengan mata segaris. Dan sumber rasa dingin itu adalah se-cup besar chocolate ice cream yang ia sodorkan.
“Kau?” Akhirnya aku membuka suara. Dengan ragu aku mengambilnya. Ia tersenyum, lagi. Aku bertanya-tanya apakah ia tidak lelah selalu tersenyum seperti itu.
“Kita bertemu lagi, Agassi,” ujarnya sambil duduk di sebelahku masih dengan senyumnya. Ya Tuhan kenapa bisa Kau ciptakan makhluk seperti ini.
“Kau pasti sengaja mengikuti,” gumamku kesal. Dia tersenyum. “Ini takdir, Agassi.”
Takdir? Keningku berkerut. Aku percaya takdir, tapi tidak seperti ini. Pria ini tiba-tiba hadir dalam waktu yang tidak sampai 24 jam dan mengatakan ini takdir. Apa ia sudah gila?
“Lee Jinki imnida,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Jadi siapa nama Agassi?”
Aku terdiam. Ia masih tersenyum. Hangat. Aku akui aku menyukai senyumannya. Senyuman yang terlihat begitu tulus. Ia menatapku lembut. Aku merasakan ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup pelan. Tatap mata itu begitu lembut. Matanya kecil dan menjadi segaris jika tersenyum. Dalam  tatap mata itu seakan hanya ada aku. Sorot mata yang mengikat kuat, membawa dalam takdir.
Ya, mungkin ini takdirku. Aku tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
It was only a paper cut.
I’m okay, I’ll survive. Dan aku akan memulai cerita baru. “Kyuppa, I’ll move on,” batinku.
End